Arti Sebuah Evaluasi Dalam kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Arti Sebuah Evaluasi Dalam kegiatan Pemberdayaan Masyarakat |
Berpijak pada perspektif diatas, sarana evaluasi dibarengi dengan upaya penguatan rekan-rekan tim fasilitator, tak terkecuali Tim Fasilitator Muntok. Di dalam melakukan penguatan dan mengingat kembali perjalanan proses di masyarakat, diberikan hal yang diharapkan mampu menjadi amunisi baru untuk melakukan pendampingan. Bukan hanya soal konsep melainkan juga hakekat jati diri untuk tidak menjadi munafik di tengah masyarakat dampingan. Tetapi, apakah hal itu akan efektif dan berjalan seperti yang diharapkan?
MENGAJAK masyarakat awam melakukan analisis social lingkungan memang tidak dapat bertolak hanya pada aras konsep dan proses partisipatif saja. Memahami suatu gerakan social perlu memahami sesuatu yang rumit dan majemuk. Dan parahnya, kita kadang kadang terjebak dalam system yang sangat birokratis ---biasanya untuk alasan bahan monitoring dan evaluasi—dan dikomsumsi untuk kepentingan internal. Bukan untuk disajikan ke masyarakat sebagai bahan kajian bersama.
Wujud perubahan social yang ingin dicapai dalam PNPM Mandiri Perkotaan adalah sebuah tatanan masyarakat madani, yang maju, mandiri dan sejahtera dalam lingkungan permukiman sehat, produktif dan lestari. Mari kita mencermati! Bagaimana wujud masyarakat seperti ini bisa tercapai?
PERTAMA, kajian Membangun kesadaran kritis. PNPM Mandiri Perkotaan sebagai proses yang panjang dan “terselubung” dalam siklus. Hematnya, pelaksanaan kegiatan (baca; intervensi) pengembangan masyarakat adalah kaidah membangun dari dalam (development from withim). Dalam proses ini, PNPM Mandiri Perkotaan “menjual” produk bernama Nilai Nilai Kemanusiaan. Dengan tolak pandang bahwa lunturnya nilai telah menghancurkan capital social.
Pemberdayaan dalam konteks ini adalah upaya membangun kembali potensi manusia dalam menentukan sejarahnya sendiri. PNPM Mandiri Perkotaan memandang masalah kemiskinan diakibatkan karena masyarakat yang terkotak kotak (fragmented community). Si Kaya Menghisap Si Miskin, Si Cerdik Menipu Si Lugu, Si Penguasa Mengekploitasi Si Lemah, Si Pintar membodohi Si Tolol. Dan Siapa bilang kita bukan dari bagian itu? Toh akhirnya, kita tidak berdaya menghadapi soal soal ini.
Pada dasarnya substansi pemberdayaan---melalui pembelajaran kritis--- dalam konteks berintikan pada perubahan dari perilaku sendiri. Peran pendamping (baca: manajemen, fasilitator dan pemerintah terkait) harus “berbenah diri” sebelum terjun ke masyarakat.
Pemberdaya sejati bukan dinilai bagaimana kita merumuskan kalimat yang memukau di hadapan masyarakat. Pemberdaya bukan pendekar yang hebat dalam bersilat lidah dan bukan penjual obat di pasar loak. Masyarakat memang harus terus menerus diajak berfikir dan menganalisis secara kritis keadaan dan masalah mereka sendiri.
Ketika perubahan terjadi, masyarakat mampu mengktirisi kondisi socialnya, program yang beredar di sekitarnya, termasuk kritik pedas terhadap intervensi PNPM Mandiri Perkotaan. Apakah kita siap menghadapinya? Kalau tidak, kita harus mengakui bahwa peran fasilitator hanya sebagai mesin mesin produksi atau sebuah proses yang memperpanjang barisan perbudakan agen globalisasi. Hematnya, kita hanya sebagai kran penyalur informasi mengakarnya kapitalisme di Indonesia.
KEDUA, Konsep menumbuhkembangkan Organisasi Masyarakat Warga (OMW/OMS) sebagai implementasi dari buah proses pengkajian PNPM Mandiri Perkotaan dalam membangun model kelembagaan yang bersifat pemberi pelayanan (service provider). LKM sebagai lembaga kepemimpinan kolektif masyarakat adalah salah satu alternative pilihan dalam PNPM Mandiri Perkotaan.
Terbentuknya LKM yang mengakar memang perlu, tetapi apakah keberadaan LKM sebagai sebuah proses pembelajaran kritis akan mampu menjawab persoalan masyarakat, khususnya dalam menanggulangi kemiskinan (baca; marjinalisasi) di tengah masyarakat yang memilih mereka?
Sebab soalnya, Marjinalisasi (baca; pemiskinan) selama ini merupakan akibat dari suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan, khususnya melalui bidang hukum dan kebijakan publik yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat, tetapi lebih mengutamakan kepentingan segelintir elit penguasa dan kroninya, dan birokrasi yang korup dan tidak efesien, yang makin mendorong mewabahnya perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme.
Salah satu contoh sederhana. Apakah LKM yang akan kita tumbuhkembangkan mampu mengaspirasikan kepentingan kelompok marjinal, merancang model kelembagaan pendukung penguatan kapasitas advokasi terhadap proses marjinalisasi, pengembangan jaringan kerja (kemitraan) dan mendukung penataan organisasi warga yang dapat membangun kaderisasi (baca: relawan relawan baru) serta menfasilitasi simpul simpul dukungan kapasitas di kelurahan/desa???
Kalau harapan harapan itu tidak tercapai, maka pembentukan LKM hanya sebagai tembok pembatas terjaganya birokrasi (baca; pemerintah) yang korup dan tidak efesien. Tidak lain, kita hanya memelihara sebuah tirani perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme. LKM akhirnya hanya sebagai persiapan kambing hitam ketika PNPM Mandiri Perkotaan tersedak di tengah jalan.
Asumsi ini bisa saja terjadi. Tim audit (KMP, dan BPKP) atau tim Monev PNPM Mandiri Perkotaan sepanjang sejarahnya lebih banyak mengobok obok kegiatan KSM dan kebijakan LKM di tingkat lapangan. Belum mampu menunjukkan perubahan (baca; pressure) kearah pengkajian kebijakan yang berpihak ke kelompok marjinal yang ditelorkan oleh pemerintah sebagai bagian dari sasaran PNPM Mandiri Perkotaan (baca; merubah masyarakat, pemerintah daerah dan TKPK, kelompok peduli dan pihak terkait).
KETIGA; Sebagai fasilitator yang berupaya melakukan proses penyadaran kritis menuju sebuah tatanan masyarakat madani kita tidak terlepas dari dua peran. Sebagai agen pelaksana proyek dan sebagai agen pemberdayaan. Seperti dua sisi pedang yang kedua-duanya bermata tajam.
Sebagai pelaksana proyek, kita adalah pekerja. Hakekat sebuah pekerjaan adalah sebuah mahakarya yang sejati dan luhur. Pekerjaan haruslah mampu mewujudkan kepuasaan bagi si pekerja. Pekerjaan harus mampu memberikan kebahagian bagi si peminat pekerjaan. Pekerjaan yang sebaliknya, kesengsaraan dan penderitaan bagi orang lain, sebenarnya bukanlah hakekat sebuah sejatinya kerja. Keindahan pekerjaan dalam prosesnya haruslah menembus sisi gelap sebuah kehidupan.
Kekaguman terhadap proses ini perlu disadari untuk mencintai sebuah proses bekerja. Orang yang selalu memuja muja pekerjaan secara berlebihan, selalu mencintai berlebihan sebuah pekerjaan sebenarnya adalah proses menggali kuburan sendiri. Ini adalah sebuah proses kehidupan, manusia dituntut dan harus kembali kepada hakekat.
Celakanya, kita sering mengalami kebimbangan pada pekerjaan yang memberikan sebuah kemalangan. Sadar atau tidak, telah menghilangkan jejak. Jejak itu adalah kemanusian, ketuhanan, dan ego itu sendiri. Mengupasnya perlu debat panjang dan memerlukan banyak pisau analisis yang bermuara pada idealisme.
Idealisme merupakan pandangan segala sesuatu tentang objek dan subjek yang didasari pada hakekat jati diri. Jati diri manusia merupakan garis lurus sebuah ideologi. Idealisme lahir dari jati diri. Mendapatkannya tidak datang begitu saja, perlu perjalanan panjang yang akhirnya melahirkan kesadaran. Kesadaran ada pada hakekat diri ego.
TERAKHIR; Penyadaran sebagai inti proses pembelajaran kritis haruslah memberi ruang dan waktu bagi setiap ego untuk diberi kesempatan mengatakan struktur dan pola kesadaranya sendiri. Dunia kesadaran harus tetap ajeg. Tidak boleh berhenti, mandeg dan senantiasa harus tetap berproses, berkembang dan meluas sampai ke titik kesadaran naïf dan massif.
Jika seseorang atau komunitas mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, maka “kita” akan masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata mata (baca: didikte) dan menyampaikan sesuatu secara mekanis tanpa perlu sadar apa yang dikatakan dan dilakukan.
Bagaimana dengan telaah pembelajaran kritis yang diilhami oleh seorang filsuf sosialis “Paolu Freire” ini bisa terwujud (baca; pendidikan bagi kaum tertindas) dalam tatanan dan aras masyarakat yang ingin ditumbuhkembangkan oleh PNPM Mandiri Perkotaan? Ataukah “pembelajaran kritis” hanya sekedar konsep yang meninabobokan dan membius? Keabsahannya ada pada proses waktu, tempat dan orang orang di mana ia diterapkan!.
TULISAN ini hanya sekedar wacana untuk ditelaah dan dinalar. Bagaimana kita membangun dan menciptakan sebuah transformasi social dalam konteks dan implementasi PNPM Mandiri Perkotaan. Kita “perlu” mengambil garis tegas dalam ber- PNPM Mandiri Perkotaan. Sebab, di tengah masyarakat (baca: kaum miskin) akar masalah kemiskinan tidak hanya berujung pada nilai nilai kemanusian. Kita perlu mengambil sikap kritis terhadap masalah yang mengemuka dan laten. Jika kita tidak mampu mengambil bagian dari proses penyelesaian, maka kita adalah merupakan bagian dari persoalan.
Terus berdiam dalam keadaan mendesak merupakan proses melunturkan semua nilai kemanusiaan. Ini penting ditelaah dan dinalar, agar kemudian PNPM Mandiri Perkotaan bukan hanya menjadi “tai kucing” yang menganggu tungku tungku rakyat miskin.
Bila kemudian tulisan ini tidak menguntungkan untuk dibaca, silahkan dihancurkan dan mengakhiri nasibnya di tong sampah.Demkian adalah Arti Sebuah Evaluasi Dalam kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
0 komentar:
Posting Komentar