Kemiskinan adalah anak kandung yang sah dari ketidakadilan politik
Kemiskinan adalah anak kandung yang sah dari ketidakadilan politik,  ketidakadilan hukum, ketidakadilan sistem ekonomi, ketidakadilan budaya,  ketidakadilan moral dan  ketidakadilan sejarah. Program penanggulangan  kemiskinan yang diperkenal di abad-abad terakhir ini justru semakin  memperburuk kemiskinan itu sendiri. Hal ini dilatarbelakangi karena  ketidakberanian program untuk mengakui bahwa kemiskinan merupakan akibat  dari berbagai ketidakadilan tersebut. Maka program bisa kita lihat  lebih sibuk mengurus si miskin seolah kemiskinan bisa diatasi oleh  mereka sendiri, tapi lupa dengan membiarkan segala sistem ketidakadilan  itu tetap terus berjalan. Dan yang lebih menyedihkan, progra-program  untuk orang miskin dicitrakan sebagai “kebaikan” negara (pemerintah dan  kroni) terhadap rakyat. Padahal, negara-lah yang selama ini absen dalam  mencegah kemiskinan terjadi, dengan menjadi salah satu elemen yang  melegalkan berbagai ketidakadila tersebut. (kiriman dari Joko– Ketua  UPK Sumbersuko via SMS)
Sebelumnya beliau juga mengirimi saya SMS yang berisi; Indikator Masyarakat Desa disebut MISKIN :
1. Kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan
2. Memiliki lahan dan modal pertanian terbatas
3. Tidak ada kesempatan untuk berinvestasi di sektor pertanian
4. Kurangnya kesempatan memperoleh kredit
5. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, yaitu sandang, pangan dan perumahan
6. Berurbanisasi ke Kota
7. Cara bertani masih tradisional
8. Kurangnya produktifitas usaha
9. Tidak memiliki tabungan
10. Kesehatan kurang terjamin
11. Tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial
12. Terjadinya KKN dalam pemerintahan desa
13. Tidak memiliki akses untuk memperolah air bersih
14. Tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
Kedua SMS tersebut yang dikirimkan kepada saya hanya saudara Wahyu sendiri yang tahu jelas maksud dan tujuannya. tapi saya meresponnya dengan berpikir bahwa ini adalah ajakan yang positif. Beliau menunjukan komitmen yang kuat terhadap program pemberdayana yang menjadi kesibukan hariannya, ditengah cara berpikir yang pendek dan lebih mementing diri sendiri yang jujur saja menjadi penyakit akut teman-teman di pemberdayaan.
Kembali merenung dan mereoritentasi program sungguh sesuatu yang asing buat kita. Bergelut dengan orang miskin menjadikan kita benar-benar arogan dengan menganggap bahwa si “miskin” merupakan objek dimana keberadaan mereka menjadi mata pencaharian yang basah. Si “miskin” yang berpendidikan rendah, bermata pencaharian tidak jelas dan tidak mengerti bagaimana seharusnya masa depan dicapai menjadi penting untuk tetap “begitu” agar kita memiliki ruang untuk memuaskan arogansi kita. padahal pada tulisan di atas tadi jelas bahwa kemiskinan merupakann “produk” ketidakadilan, dia tidak lahir sendiri; dia terlahir karena sistem yang buruk. Kita masih memiliki kesempatan untuk kembali mendudukan persoalan kemiskinan sebagai persoalan sistematis, tidak seperti yang dituduhkan sekarang bahwa kemiskinan merupakan akibat dari kemalasan dan kurangnya usaha si “miskin” sendiri. Sehingga kita bisa menghentikan stigma negatif terhadap mereka. Bisa kembali mengajak mereka bicara di meja yang sama sebagai pelaku, bukan membiarkan mereka di luar kemudian kita memutuskan untuk mereka seolah kita paling tahu apa yang mereka butuhkan.
Sebelumnya beliau juga mengirimi saya SMS yang berisi; Indikator Masyarakat Desa disebut MISKIN :
1. Kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan
2. Memiliki lahan dan modal pertanian terbatas
3. Tidak ada kesempatan untuk berinvestasi di sektor pertanian
4. Kurangnya kesempatan memperoleh kredit
5. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, yaitu sandang, pangan dan perumahan
6. Berurbanisasi ke Kota
7. Cara bertani masih tradisional
8. Kurangnya produktifitas usaha
9. Tidak memiliki tabungan
10. Kesehatan kurang terjamin
11. Tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial
12. Terjadinya KKN dalam pemerintahan desa
13. Tidak memiliki akses untuk memperolah air bersih
14. Tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
Kedua SMS tersebut yang dikirimkan kepada saya hanya saudara Wahyu sendiri yang tahu jelas maksud dan tujuannya. tapi saya meresponnya dengan berpikir bahwa ini adalah ajakan yang positif. Beliau menunjukan komitmen yang kuat terhadap program pemberdayana yang menjadi kesibukan hariannya, ditengah cara berpikir yang pendek dan lebih mementing diri sendiri yang jujur saja menjadi penyakit akut teman-teman di pemberdayaan.
Kembali merenung dan mereoritentasi program sungguh sesuatu yang asing buat kita. Bergelut dengan orang miskin menjadikan kita benar-benar arogan dengan menganggap bahwa si “miskin” merupakan objek dimana keberadaan mereka menjadi mata pencaharian yang basah. Si “miskin” yang berpendidikan rendah, bermata pencaharian tidak jelas dan tidak mengerti bagaimana seharusnya masa depan dicapai menjadi penting untuk tetap “begitu” agar kita memiliki ruang untuk memuaskan arogansi kita. padahal pada tulisan di atas tadi jelas bahwa kemiskinan merupakann “produk” ketidakadilan, dia tidak lahir sendiri; dia terlahir karena sistem yang buruk. Kita masih memiliki kesempatan untuk kembali mendudukan persoalan kemiskinan sebagai persoalan sistematis, tidak seperti yang dituduhkan sekarang bahwa kemiskinan merupakan akibat dari kemalasan dan kurangnya usaha si “miskin” sendiri. Sehingga kita bisa menghentikan stigma negatif terhadap mereka. Bisa kembali mengajak mereka bicara di meja yang sama sebagai pelaku, bukan membiarkan mereka di luar kemudian kita memutuskan untuk mereka seolah kita paling tahu apa yang mereka butuhkan.
 
 


0 komentar:
Posting Komentar